Menjadi “Pemimpin”

Bila ditanya secara general mengenai persiapan, kegiatan, dan kebahagian yang kualami dalam 3 minggu persiapan dan 3 hari perjalanan, aku akan berkata: Walaupun dalam sisi kesehatan fisik dapat diperbaiki agar tidak gampang sakit, semua berjalan dengan lancar dan aku sangaaat senang.

Tapi, namanya juga tugas tugas refleksi ya? Jadi aku ingin menjelaskan suatu hal spesifik yang sedang terus aku usahkan untuk kembangi.

***

“Menjadi pemimpin berarti siap memimpin, dan juga siap dipimpin.”

Begitulah kata-kata dari kakak-kakak mentor yang ada. Aku takut aku kurang dalam bagian dipimpin.

Dua dari kelemahan (yang sebenarnya kekuatan juga) terbesar yang kumiliki salah satunya adalah “to shut noises away”. Berpura-pura melupakan suatu hal, tidak dengar, dan tidak peduli. Yang kedua adalah sifatku yang lumayan bossy atau gemar memerintah.

I mean, sure… Kedua ini mungkin sangat berguna ketika menjadi pemimpin yang ingin maju terus. Tetapi menurutku aku belum bisa mengontrol keduanya dengan baik.

Aku takut aku akan terlalu mengkontrol teman-temanku. Aku takut mereka setuju hanya karena mereka takut memberi saran atau opini sendiri. Aku takut aku tidak dapat berkomunikasi baik dengan reguku, hanya karena tidak dapat mendengarkan dengan baik. Aku takut perbuatan atau perkataanku menyinggung siapa pun yang ada.

Dan yang paling kutakuti adalah terlalu memimpin, ketika sebenarnya bukan aku ketuanya.

Ini bukanlah suatu hal yang baru kusadari. Ini suatu hal yang sedang aku usahakan untuk perbaiki secara perlahan. Walaupun di LDK sejujurnya aku dapat mixed signals seperti, “Jadi aku seharusnya bantu Hasya memimpin atau enggak??” dan terkadang gatel, “Pinru. Siapa pun. Please sadar itu ada —-!! Aku nggak mau komen lagi…” Tetapi aku merasa bahwa aku telah bisa menahan diri dengan cukup baik.

Lain kali, jika aku menjadi anggota dari sebuah regu lagi, aku akan mencoba untuk lebih mendengarkan opini sesama anggotaku and try to not act too arrogant.

Share this post