(c) Kak Ali

Jurnal Ekspedisi D-5: Pulang~

“Bangun! Bangun!”

Terdengar suara tipis dari luar tenda. Yang pasti tak semerdu suara Kak Shanty. Cahaya senter dari luar tersinar ke arah tenda kami.

“Woy bangun woy!” Ujar Kaysan dari luar.

Leave nothing

Pagi itu aku masih flu, jadi hidungku masih tersumbat dan pendengaranku sedikit lemah. Perlahan, aku bangun dan mengintip keluar tenda. Terlihat yang putra sudah mengeluarkan tas dari tenda dan sedang dalam proses merobohkan tenda. Dengan panik aku membangunkan manusia-manusia disebelahku. Beberes sebentar di pojokanku, aku keluar dan jalan menuju tenda Regu Dublob untuk membangunkan mereka.

Di dalam tendaku, anggota reguku sedang dalam proses membereskan barang dan matras. Aku melakukan hal yang sama dan mengeluarkan tasku keluar tenda. Ketika sedang latihan mebuka tutup tenda sebelum berangkat, kami menghabiskan mungkin setengah jam berusaha melipat tenda. Untungnya kali ini kami dibantu oleh Kak Opal, Kaysan, dan Fakhri. Jadi tenda telah dirobohkan dengan rapih.

(c) Kak Ali. Perobohan tenda Garam Laut

. . .

Leave nothing but footprints, take nothing but pictures.

Sebenarnya quotenya lebih panjang lagi—bahkan berhubung dengan kill—tapi intinya kami tidak boleh meniggalkan hal lain selain jejak kaki. Itu berarti kami tidak boleh meninggalkan sampah. Jadi kami berbaris di ujung lapangan dan jalan sampai ke ujung sebrangnya sambil memungut sampah yang dilihat di jalan. Tak banyak sih, tapi setidaknya sekarang tak lagi ada sampah bekas kami.

Pelabuhan

Tenda sudah balik di tasnya, api unggun telah mati, lubang organik sudah ditutup, tak ada lagi tali jemuran menggantung diantara pohon atau gol. Lapangan sudah bersih. Waktunya pulang.

Sekarang kami sudah lebih kenal jalan-jalan yang ada di P. Karya. Perjalanan ke pelabuhan sudah tak lagi terasa amat asing. Kami berhenti berjalan di sebuah pelabuhan semen. Tas, tenda, matras, dan life-fest diletakan di lantai pelabuhan sambil kami menunggu kapal yang akan menjemput kami.

Tidak, kami tidak naik Sanus lagi. Sanus tak beroperasi pada hari Jum’at. Kami menunggu sebuah kapal kayu bernama Srikandi yang akan mengantarkan kami sampai Kali Adem.

Sambil menunggu, kami duduk-duduk di ujung pelabuhan. Mengobrol dengan gerombolan-gerombolan kecil sendiri. Aku bersama Trisha dan Ceca membicarakan kembali kejadian-kejadian kemarin.

Seperti di perjalanan-perjalanan sebelumnya, ada perasaan aneh yang sejujurnya sudah tak lagi terlalu asing. ‘Sudah selesai ya?’

I feel empty, but in peace at the same time?

Lain kali kami jalan, mungkin ada yang tak ikut lagi. Jika perjalanan ini diulang lagi dengan orang yang berbeda, suasananya pasti akan jauh berbeda.

(c) Kak Shanty.

Kapal kayu

Kapal kayu telah datang. Besarnya mirip-mirip dengan Sanus—mungkin sedikit lebih kecil. Satu-per-satu kami naik kapal kayu tersebut dan naik ke bagian atas kapal. Kami mengumpulkan semua bawaan kami di sebuah pojokan di lantai kayu. Menyesuaikan diri dengan kapal, kami ke ujung railing besi kapal. Menikmati angin sepoi-sepoi laut sambil membelok-belokan kata-kata teman.

Tak lama, kapal berhenti di P. Pramuka. Perwakilan dari setiap regu keluar dari kapal membawa kotak makan dan mulai berlarian mencari sarapan. Michelle dan Katya datang ke kapal membawa satu kotak isi gorengan. Kami membagi-bagi makanan tersebut bersama seluruh regu—aku makan sebagian banyak sih.

Kapal berangkat dan kami mencoba untuk duduk didepan kapal yang tidak ada railingnya. Seru. Hembusan angin langsung mengenai muka. Sayangnya bahaya, dan ombak laut menguat. Jadi kami diminta pindah ke sisi kapal yang memiliki railing.

Ombak lama-lama makin keras, sampai Kak Shanty meminta kami untuk masuk kedalam kapal, atau mengenakan life-fest yang disediakan. Malas mengenakan life-fest, aku memutuskan untuk masuk saja kedalam. Ketika aku masuk, salah satu ombak laut mengenai puncaknya dan kapal bergoyang dengan hebat. Aku tersandung dan merangkak menuju tumpukan tas kami sambil tertawa girang.

Ombak menggila dan menjadi sangat kuat. Semuanya di dalam kapal, selagi kapal bergoyang dengan hebat ke kiri dan ke kanan.

“Bonus dari Ekspedisi nih.. Naik kora-kora di Dufan.” Seloroh Kak Shanty.

Lama-lama dapat terasa rasa pusing dan mual meramu dalam tubuh. Sea sick. Memang kontra dari terlalu banyak naik kora-kora adalah mual. Perlahan mata terasa berat, dan satu-per-satu, penumpang kapal bersenderan dengan kepala berat kepada barang atau teman.

(c) Kak Shanty.

. . .

Setelah beberapa waktu. Semua mulai bangkit dari posisi masing-masing dan menatap keluar kaca kapal. Terlihat dari jauh, sebuah mall dan pelabuhan besar dengan kapal-kapal melabuh. ‘Jakarta.’

(c) Kaysan. Tata, out~

Share this post