Jurnal Ekspedisi D-3: Perpindahan

“Adik-adik…”

Hari itu juga, kami dibangunkan pukul 5 pagi oleh Kak Shanty untuk sholat shubuh. Perlahan, aku membangunkan anggota reguku yang lain. Jika kemarin adalah hari terakhir kami akan berkunjung ke P. Rambut, hari ini adalah hari dimana kami pindah dari P. Untung Jawa ke P. Pramuka. Aku menyadari pojokan dimana barang-barangku berada, sangatlah berantakan. Jadi aku membereskan tasku sambil menunggu yang lain sholat. Setelah sholat, kami sarapan dan bercanda, “Ini sarapan terakhir kita yang enak nih..”

OASE = Receh

Bukan hanya anaknya, mentornya dan bahkan orangtuanya, semua yang di OASE bisa saja lagi ngobrol tiba-tiba ngeles kekiri-kanan. Pagi terakhir di Mess BKSDA kami habiskan dengan saling mengesalkan satu sama lain dengan plesetan-plesetan kata. Pagi itu juga, sempat rusuh tentang tempat duduk. “Angkat pantat, hilang tempat.”

“Siang itu bukannya nama binatang ya?” “Kucing!!”

Salah satu objek obrolan adalah Pantai Sakura di ujung timur P. Untung Jawa. Aku sempat melewati kemarin, tapi tidak benar-benar melihatnya. Katanya disana ada Pohon Sakura beneran. ‘Bukannya Sakura tanaman empat musim?’ Kupikir. Yang lain pula memikirkan yang sama. Kemungkinan tumbuhan yang memiliki rupa mirip dengan Sakura.

Tapi ada beberapa dari kami yang tidak bisa puas dengan mungkin. Jadi dengan waktu kosong 30 menit, mereka memutuskan untuk jalan ke pantai tersebut. Tadinya aku ingin ikut, tapi pojok barang-barangku terlihat seperti kapal pecah!

. . .

Waktu menunjukan pukul 7. Pukul 7 kami diminta berkumpul dengan barang masing-masing, dan sudah siap untuk jalan ke pelabuhan. Dengan dramatis kami mengangkat barang masing-masing dan berpose untuk foto.

(c) Kak Ali.

Mabok bersama

Di pelabuhan kami meletakan barang bawaan dan mengumpulkan ID Card ke Kak Shanty lagi. Tidak seperti waktu berangkat, kami bukannya ditunggu oleh kapal, kali ini kami menunggu kapal. Kapal yang kami akan tumpangi adalah kapal besi favorit kami. Yap. Rute Sanus (Sabuk Nusantara 66) termasuk berhenti di P. Untung Jawa, P. Pramuka, dan terakhir di P. Kelapa. Jadi dengan sabar, kami menunggu kapal besi berwarna kuning tersebut.

Saat itu, dapat terdengar perbincangan tentang K-Pop, tentang Disney dan kartun-kartun lama, atau mungkin tentang TikTok and friends. Bila tidak sedang ngobrol, dapat terlihat laki-laki hyper sedang merosot di tangga (yang dibenci Pak Ian) penyebrangan tinggi pelabuhan. Concernku hanya jika celana mereka ada yang robek.

(c) Kak Lala. “Perosotan”

Untungnya, ketika kapal sudah terlihat mendekat, tidak ada celana yang menjadi korban perosotan para putra. Ketika ada warna kuning-kuning terlihat di laut yang memiliki nuansa biru gelap, kami segera mengangkut kembali beban barang dan jalan ke tempat kapal melabuh.

(c) Kak Lala. Sanus mendekat

Kapal terlihat membesar setiap detiknya, sampai akhirnya kapal tak lagi mendekat dan sudah membuka mulutnya untuk masuk. Satu-per-satu—dengan urutan yang sudah ditentukan—kami masuk ke kapal. Mungkin itu kesekian kalinya aku masuk kedalam.

Aku masuk kedalam kapal. Terlihat seorang wanita berambut pendek yang terlihat tak asing, ‘Kok kayaknya aku pernah lihat orang itu ya?’ Ketika yang lain langsung turun ke lantai penuh dengan bunk-bed, aku memutuskan untuk ke tangga yang lebih jauh untuk memastikan teoriku. Ternyata benar! Orang yang familiar tersebut adalah Kak Melly dari Jaladwara. OASE pernah berkegiatan dengan Jaladwara beberapa kali sebelumnya. Tapi itu dulu, jadi maklum hanya beberapa dari kami yang kenal.

Kak Melly ternyata adalah mentor baru kami! Berhubung Kak Lala hanya bisa sampai hari Kamis—dan kami sampai hari Jum’at—Kak Melly datang untuk menetapkan nomor 4 pada jumlah mentor nantinya. Setelah menyapa mentor baru kami, aku segera turun dan melepaskan carrier di salah satu bunk-bed dekat teman-temanku.

Ketika kelompok kecil di sebelah sedang bermain ToD, ada lingkaran lebih kecil yang sedang bermain Hantu/Setan. Entah mengapa, goyangan ombak sangat terasa pagi itu. Membuat penumpang gampang mabok. Pemain kartu dan ToD yang tadinya duduk-duduk di kasur atas bunk-bed, terlihat dempet-dempet tergeletak tidur. Bila kau ada pada saat itu, kamu mungkin dapat lihat seberapa lucunya melihat satu deretan remaja tidur berdempetan. Padahal kasurnya masih banyak yang kosong.

. . .

Pengunguman kapal mengumumkan bahwa kapal sebentar lagi akan tiba di P. Pramuka. Dengan nyawa baru setengah balik dari pulau kapuk, kami loncat turun dari bunk-bed dan mengangkat barang-barang. Siap untuk melanjutkan petualangan.

Berkunjung ke P. Pramuka

Sampai lagi di daratan, kami langsung jalan ke sebuah masjid untuk istirahat dan sholat. Ketika semua sudah sholat, kami mengumpulkan semua barang kami dibawah pohon dan dibolehkan untuk membeli makan siang selagi Kak Opal dan Kak Ali menjaga tasnya.

(c) Kak Lala. Di masjid

Kami dapat kurang-lebih melihat yang lain berkumpul di sebuah saung besi, sudah memesan makanan masing-masing. Porsi Regu Putri Doyoung itu.. Kurang pasti. Kadang kami seperti singa belum makan seharian, kadang kami hanya bisa makan satu sendok dan langsung kenyang. Kami jadinya memesan Nasi Goreng 2, satu porsi berdua; 1 Bakso, Adinda yang beli untuk bareng-bareng; dan 4 gelas Jus Mangga yang amat sangat lezat.

. . .

Dengan waktu yang diberikan oleh mentor, kami diperbolehkan untuk membeli bahan masakan yang kurang di P. Pramuka. Regu kami sudah memutuskan untuk hanya butuh maizena, telur, dan ikan.

Jadi kami jalan ke Toko Sembako, mencari telur dan maizena. Sayangnya saat itu tidak ada maizena maupun telur. Jadi kami memutuskan untuk setidaknya membeli ikan. Di jalan aku sadar bahwa kami perlu kotak makan atau kantong kresek. Aku ijin lari dulu sebentar ke masjid untuk ngambil kotak makan, sambil meminta mereka duluan saja ke pasar ikan. Setelahnya memutuskan untuk jalan lewat rute luar—berbeda dari reguku tadi—berharap dapat sampai tidak lama setelah mereka.

Di pasar ikan, yang ada ternyata hanya Kak Shanty, Kak Melly, Kak Lala, Regu Garam Laut, dan seorang perwakilan dari Regu Anjing Laut. Aku sempat bingung sebentar, ‘Ikannya mana?’ Ternyata ikannya belum ada dan akan datang agak sore-an. Kami sudah tidak ada di P. Pramuka sore nanti. Jadi para mentor akan memesannya untuk dikirim ke P. Karya nanti, dan mentor akan buka warung mentor.

Waktu jalan balik ke masjid, aku berpikir, ‘Adinda, Katya, Michelle kok tadi nggak ada?’ Jadi aku coba jalan ke tempat kami terakhir bertemu tadi. Ternyata mereka menungguku, bukannya duluan. Aku menjelaskan situasi ikan dan telur pada mereka. Jalan lagi, kami diminta untuk mengambil life-fest sejumlah dengan anggota regu untuk naik kapal.

Ternyata selain ikan dan telur, air pun akan datang pada sore hari. Jadi kami disarankan untuk membeli air dari penjual makanan yang kami temu sebelumnya. Selagi yang lain membeli air dari penjual nasi goreng yang tadi, aku dan Ceca meminta air kepada ibu yang menjual aneka jus.

Botol minum penuh, life-fest ada di pegangan tangan, dan kami siap menyebrang ke P. Karya.

Jadi kami sebenarnya tidak menetap lama di P. Pramuka. Hanya berkunjung. Dua malam kedepan kami akan bermalam di P. Karya.

Ojek kapal yang kali ini mungkin 2-3 kali lebih besar dibanding yang kami tumpangi di P. Untung Jawa-P. Rambut. Di kapal tersebut isinya pun bukan hanya kami, ada pedagang dan juga keluarga yang ikut menumpang ke pulau-pulau lain.

(c) Kak Ali. Di ojek kapal

. . .

Kapal berlayar ke P. Karya memakan waktu mungkin kurang dari 20 menit, karena jaraknya yang tidak terlalu panjang. Ironisnya, di seberang P. Karya yang tak berpenduduk ini, ada pulau bernama P. Panggang yang dikatakan pulau dengan penduduk paling banyak.

Berkemah di pantai

Turun dari ojek kapal, kami berjalan lagi beberapa menit. Kami tiba di sesuatu yang tampaknya seperti lapangan bola penuh pasir karena terdapat dua gol besi yang mulai berkaratan di kedua ujung lapangan. Luar dari lapangan tersebut ada banyak pohon yang seperti pinus, tetapi memiliki biji yang lebih kecil dan lebih tajam—jika diinjak seperti ranjau. Di dekat lapangan juga terdapat lapangan lain, tapi bukannya ditutupi pasir, lapangan tersebut dialaskan semen halus. Dekatnya juga terdapat saung yang tampaknya cukup besar untuk melindungi kami semua, tapi sayangnya mungkin tak lagi cukup kuat.

Setiap regu menempatkan barang-barangnya di pojokan-pojokan lapangan dan mulai membuka tenda sebagai tempat tinggal selama 2 malam. ‘Akhirnya berat ini dibuka juga.’ Perlahan tapi pasti, kami memasang tenda yang memiliki daya tamping 6 orang, jadi tidak ada cerita kesempitan. Ya.. Mungkin hanya kekurangan matras.

Michelle dan Adinda sedang siap-siap masak makan malam, nasi dan Sup Jagung. Aku memasang jemuran dengan gabungan sekitar 6 tali paracord pendek yang berbeda-beda kepada dua pohon. Katya sedang apa? Katya sedang bikin proteksi ala-ala spongebob, dengan cara membuat lingkaran di pasir sekitar tenda kami menggunakan tongkat.

“Kat! Kerja Kat!”

I am working! Kalian nggak lihat?” Jawab Katya sambil menunjuk lingkaran di pasir.

(c) Kak Lala. P u t r i   D o y o u n g

. . .

Di kanan tenda kami, terdapat tenda berwarna hijau kecil milik Regu Dublob. Andini, Anja, Ceca, Ratri, dan Trisha. Lucunya, mereka berlima berdempetan di tenda kecil itu, selagi kami berempat di tenda kapasitas 6. Andini juga membuat proteksi, tapi dia sangat rajin dan membuat proteksinya dengan pinus-mini yang ditata keliling tenda kecilnya. Di depan tenda mereka terdapat flysheet milik Ratri yang sedang mereka rapihkan sambil memasak makan malam mereka. Nasi liwet sepertinya.

(c) Kak Lala. D u b l o b

Di ujung lain lapangan, terdapat regu biru besar yang hampir identik dengan milik kami. ‘Ya, memang dua-duanya tenda milik OASE sih..’ Tenda tersebut milik Regu Garam Laut. Ali, Fakhri, Kaysan, dan Syauqi. Aku sebenarnya jarang mengunjungi pojokan mereka—atau bahkan ke sisi putra sama sekali. Tapi makanan kunci mereka adalah nasi dan cumi asin yang super asin + pasir. Ya, pasir. Kurang tahu sebab pastinya—ada rumor mereka terlalu pecicilan—tapi setiap makanan yang mereka buat mengandung vitamin P.

(c) Kak Lala. G a r a m   L a u t

Ujung terakhir dari lapangan terdapat 2 buah tenda. Satu berwarna merah dan yang satu lagi biru. Keduanya memiliki ukuran yang sama, hanya saja satu untuk manusia, satu lagi untuk barang. Kebetulan karena mereka punya tenda khusus untuk barang, Regu Dublob juga menumpang barang-barangnya di tenda tersebut. Sepasang tenda ini ternyata milik regu, last but not least, Anjing Laut. Alevko, Fattah, Hibban, dan Tre. Makanan andalan mereka adalah nasi, aneka telur, dan rendang milik Fattah.

(c) Kak Lala. A n j i n g L a u t

Speaking of eggs. Telur yang tadi kami tak bisa dapatkan di P. Pramuka, kini sudah tiba di Warung Mentor. Setiap regu dengan semangat membeli telur dengan jumlah yang diinginkan dan butuhkan. Ronde selanjutnya. Ikan!! Para mentor mulai menjual barang lain yang tak bisa kami dapatkan. Semua kecuali Regu Dublob membeli ikan, katanya tidak perlu.

Aku membantu Katya yang somehow mengetahui caranya memotong ikan. Kami memasak ikannya dengan menebeng meng-asap ikan kami di api milik kak Ali.

Benteng dan kucing

Beberapa jam telah lewat. Lubang organik yang jauh lebih dalam—yang pasti jjuga akan lebih terisi dibanding yang sebelumnya—telah digali, makan malam tinggal ditunggu matang, kami juga sudah di brieving tentang tempatnya. Waktunya permainan sejuta abad (di Penggalang OASE sih..), Benteng!! Tidak terlalu banyak yang main, tapi tak apa! Kami membagi menjadi dua grup dan bermain. Sayangnya di tengah permainan, mataku kelilipan pasir. Sudah coba ditiup, dikucek, disiram air, dikasih tetes mata, tapi masih saja ada. Jadi sore itu, aku meneruskan bermain dengan mata yang kurang nyaman.

(c) Kak Shanty. Benteng

Ada kejadian lain ketika Benteng. Selagi semuanya sedang sibuk lari atau menjaga benteng masing-masing, tiba-tiba ada yang teriak.

“Itu ikan siapa dicuri!??”

Ternyata Regu Anjing Laut meletakan ikan mereka diluar, dan itu menjadi target yang gampang untuk kucing-kucing liar disana. Regu Anjing Laut segera lari mengejar-ngejar kucing tersebut. Sayangnya kucingnya lebih gesit dibanding Regu Anjing Laut. Pertama satu, terus dua, dan akhirnya sampai lima ikan dicuri oleh kucing liar. Tampaknya Regu Anjing Laut sudah pasrah.

. . .

Hari sudah gelap, aku tiduran di sebelah Ratri di flysheet miliknya. Langitnya malam itu. Duuuh. Bagus banget <3. Sambil memandang langit, kami sambil mengobrol tentang hal-hal yang kurang penting. Sampai akhirnya dipanggil regu masing-masing.

Mungkin memang naturenya, bukannya makan per regu, kami malah bergabung dempet-dempetan berbagi makanan yang dibuat setiap regu. Kami semua mengkumpulkan nasi dan lauk di flysheet Ratri yang di perluas dengan matras milik yang lain.

Sambil berbagi, mentor mulai refleksi hari itu. Seperti gimana rasanya ikan dicuri, atau bagaimana pengalaman memasaknya. Juga pengunguman bahwa Kak Lala akan pulang duluan esok hari. Sambil refleksi, sambil juga sesi mengontak orangtua. Pt.2.

. . .

Sore dan malam itu… Dingin sekali. Sepertinya karena angin laut? Tapi malamnya aku bersin-bersin, mengigil, dan memiliki hidung bumpet. Aku segera memakai jaket dan buffku. Refleksi telah selesai, dan beberapa dari kami bermain Werewolf setelahnya, dengan Kaysan sebagai GM (Game Master). Permainan sendiri tidak berlangsung terlalu lama. Tapi perbincangannya yang lama. Tadinya aku ingin ikut ngobrol, menunggu ikan asap jadi, dan bahkan tidur diluar. But my body—sadly—says otherwise. Jadi malam itu aku langsung masuk dalam tenda, meniup bantal tiupku, dan menutupi badan dengan cape abu-abu favoritku.

(c) Kak Lala. Ikan asap

Share this post