Jurnal Ekspedisi D-2: Bermain Di Air Asin

“Adik-adik.. Bangun yuk..”

Suara lirih Kak Shanty membangunkanku. Semalam, kami memutuskan agar aku, Katya, dan Michelle tidur di ranjang atas. Kak Shanty tidur di kasur bawah, dan Adinda ingin tidur dibawah juga. Jadi ia mengeluarkan matrasnya dan meminjam sleeping bag milik Katya. Pagi itu—agak ironisnya—aku bangun duluan dari reguku. Perlahan aku membangunkan reguku untuk sholat bersama yang lain. Jujur, mereka suuuusah banget dibangunin. Setelah aku cuci muka dan yang lain sudah mulai bangun, aku mengunjungi kamarnya Regu Dublob dan menunggu yang lain sholat, bersama yang juga tidak sholat.

Botol hijau yang mengkerut

Dengan keadaan setengah sadar, kami diminta untuk menyiapkan tas untuk kegiatan kami seharian ini. Bukannya malam menyiapkan tas, aku dan beberapa temanku malah bermain Tepok Nyamuk dengan kartuku. Tapi pada akhirnya, Kak Lala meminta kami untuk menyiapkan perlengkapan kami dulu, baru main lagi nanti.

Ketika semua sudah siap, kami sarapan dulu di tempat yang sama seperti makan siang kemarin. Ditengah perbincangan dan rengekan kami karena kucing atau nasi goreng yang agak pedas, ada teriakan dan tertawa terebahak-bahak dari sisi lain meja panjang. Pada saat itu kami disediakan teh hangat—atau mungkin lebih tepat panas. Dari asal tawaan itu datang, dapat dilihat Ali sedang mengangkat botol berwarna hijau yang berbentuk aneh dengan cairan berwarna coklat dalamnya. Ternyata itu botol Fakhri yang mengkerut karena panasnya teh yang ia masukan kedalamnya.

(c) Kak Opal (??). Tragedi botol

Regu Dublob itu… Sangat bersih, bila dibandingkan dengan Regu Putri Duyung. Itu mengapa mereka datang telat ke sarapan dengan rambut lembab mereka yang baru dibersihkan. Karena Dublob masih butuh waktu untuk sarapan, pagi ini yang berangkat duluan adalah Regu Putri Duyung, Regu Garam Laut, Kak Shanty, dan Kak Opal. Di saat kami sedang berjalan ke tempat kapal melabuh, Kak Opal mengingatkan kami untuk mengambil dan memakai life-fest yang sudah disiapkan di mess. Kami mengeluh mengatakan bahwa kami tidak perlu life-fest, tapi tetap saja Kak Shanty bersikeras untuk memakainya untuk keselamatan.

Kata-kata kasar di pasir

Kami sampai lagi di Pulau Rambut, tapi hari ini kami diturunkan di pantai yang lebih jauh dari sebelumnya. Katanya untuk sampai ke meeting point kemarin, kami harus melewati hutan akar kecil. Awalnya kami tidak percaya karena sepertinya celah antara ranting dan akarnya terlihat tidak cukup untuk kami. Kami mencoba untuk mencari detour, sayangnya jalannya malah mengarah ke sisi lain pulau. Jadi perlahan, Kaysan memimpin kami melewati akar-akar besar yang agak menghalangi kami. Akhirnya kami sampai di meeting point kemarin dan meletakan tas dan life-fest kami di kursi-kursi yang ada.

(c) Kak Shanty. Terkapar setelah jalan

Karena memang menunggu yang lain dan petugas BKSDA, kami diperbolehkan untuk jalan-jalan dan melihat-lihat pulau sedikit. Perlahan, aku berjalan di pelabuhan tinggi milik P. Rambut. Jaraknya lumayan jauh dari airnya sendiri, jadi sepertinya hanya bisa dipakai jika airnya pasang. Atau jika tidak pasang, bisa juga manjat naik-turun kapal dengan susah payah.

Dapat dilihat beberapa dari kami menjelajah di pinggir pulau tersebut. Aku memutuskan untuk mengikuti mereka. Bila aku lihat pas kebawah, yang terlihat adalah batu-batu kotak pembatas pulau yang sedang kami jalani. Di kanan ada pantai yang sayangnya penuh dengan sampah hanyutan. Di kiri terlihat laut dangkal yang makin dalam makin jauh kami memandang. Di atas ada langit biru yang luang tanpa awan. Dan juga ada…

“Elang!!”

Ternyata ketika sedang memandang sekitar, Kaysan menemukan seekor elang dan segera mengeluarkan kamera dan memotret burung besar tersebut.

Ketika di ujung, kami dipanggil balik lagi, dan itulah yang kami lakukan. Aku dan Katya sedang mengobrol di buntut rombongan kecil kami. Di bagian berpasir kecil kami iseng-iseng menulis kata kasar, walaupun mungkin tidak ada yang akan mengerti (misal: 씨발). Ternyata saat itu kami dipanggil karena mau diajak foto di pelabuhan. Jadi kami foto sebentar dan menunggu yang lain datang. Ketika ojek kapal datang, kami memandang mereka yang diturunkan di tempat yang sama kami sebelumnya, dan terlihat sama bingungnya dengan kami sebelumnya.

. . .

(c) Kak Lala. Foto favorit <3

Setelah rombongan kedua juga sudah melewati akar-akar pohon yang besar, kami diajak foto lagi. Pagi itu air terlihat biru terang dan sangat menggoda, mungkin itu mengapa dapat terdengar satu-per-satu para lelaki menyebur. Mereka berlari dari ujung pelabuhan dan teriak keras, terdengar setelahnya suara percikan air yang keras, dan suaranya semuanya diakhiri dengan tawa. Tadinya aku juga tergoda untuk ikut menyebur, tetapi diingatkan bahwa kami akan susur pantai. Nanti bisa kedinginan saat jalan, jadi aku hanya menycelupkan kakiku dan bermain pasir.

(c) Kak Ali. Foto dari binocular

Tak lama kemudian kami dipanggil untuk memulai susur pantai. Kami membawa keperluan utama—misal botol minum—dan segera berangkat sebagai rombongan besar.

Kaos kaki basah

Jalan yang harus dilalui adalah pinggiran laut, jadi perlahan kami berusaha agar boots kami tidak kemasukan air. Tapi keluhan kesal dapat didengar kiri-kanan. Cepat atau lambat, air mulai mengisi semua boots kami. Kecuali milik Adinda, yang sepertinya berusaha extra keras agar bootsnya tidak kemasukan air, dan berhasil. Di jalan, kami melewati padang lamun kecil dan petugasnya berhenti di tengah-tengah nya. Ia memasukan tangannya ke dalam air dan menunjuk sesuatu. Yang didekatnya langsung merapat dan di sana terlihat kerang tertutup. Katanya dapat dilihat ada dalamnya atau tidak jika kalau disentuh berkedip atau tidak.

(c) Kak Ali. Anggur asin

Lama-lama dapat dilihat dibawah kami terdapat koral halus. Didekatnya juga ada sesuatu yang seperti rumput laut tapi kecil dan bulat-bulat. Namanya Anggur Laut. Aku mencoba satu bola kecil dan perasaannya seperti agar yang pecah dimulut, tapi asin—sangat asin. Karena suka—atau mungkin lapar—aku mengambil 1/3 genggam tanganku dan makan sedikit demi sedikit. Yang lain juga menemukan timun laut, binatangnya berwarna hitam gelap dan ketika disentuh terasa lembek-lembek gimana gitu. Ada juga yang mendapatkan bintang laut yang memiliki tangan yang ramping dan terlihat tajam.

Di tengah jalan, kami juga melihat seekor burung Pecuk Padi Hitam yang masih muda. Tapi ia tidak sedang terbang, tetapi sedang tergeletak nyaris tak bernyawa. Katanya bila ada yang seperti ini, binatang tersebut akan di makan oleh biawak-biawak di hutan. Kasihan sih memang, tapi itu memang seleksi alam, jadi bisa apa lagi kami?

(c) Kak Ali. Poor birdie

. . .

Kami sempat berhenti sebentar di pantai yang lumayan besar dan berbincang di kelompok-kelompok kecil. Atau mungkin rock-skipping, seperti Adinda dan Kaysan. Kami jalan kembali dan di semak-semak sebelah kami terlihat sesuatu menyangkut. Ternyata ada balon helium Marlin dan Nemo dari flim Finding Nemo. Kami mengambilnya dan meneruskan perjalanan.

Perjalanan kami juga melewati danau-danau kecil yang dikatakan tempat habitat di P. Rambut minum. Salah satu petugasnya melihat-lihat kedalam air dan tiba-tiba mengambil potongan bambu besar di dalam air. Ketika isi bambu yang berongga tersebut dibuka, keluarlah… *Jeng jeng!!*. Puluhan Ikan Gabus keluar dari dalam bambu tersebut. Ikan-ikan tersebut kemudian dibawa didalam kantong kresek putih untuk, “dibakar nanti,” katanya.

Byar! Byur! Ppyar!

Akhirnya kami tiba kembali di meeting point dan segera mengkosongkan dan mengeringkan sepatu boots masing-masing. Di batu-batu persegi dapat terlihat boots dan kaos kaki yang sedang dikeringkan.

Tanpa banyak basi-basi, dapat dilihat Kak Ali sedang melakukan sesuatu dengan ranting dan bambu yang ditemukannya.

“Untuk apa kak?” Aku tanya dengan heran.

“Mau bakar ikan kan?” Kak Ali jawab.

Dengan semangat aku menanya, “apa yang dapat kubantu?” Kulihat Ali dan Fakhri sedang mengumpulkan ranting untuk bahan bakar api unggun. Kami mencari ranting-ranting kering dan membawanya ke tempat api unggun telah menyala. Satu-per-satu ikan dibersihkan dan ditusuk ke tongkat-tongkat dan ditusuk di pasir agar dapat di asap oleh api unggun tersebut.

(c) Kak Lala. Ikan asap

Jika sedang tidak membantu memasak ikan, yang lain dapat terlihat sedang menutupi Kaysan dan Alev dengan pasir. Mereka terlihat seperti tumpukan pasir dengan dua kelapa muncul dari sampingnya. Tertarik dengan ide mengubur teman, aku membantu mereka sambil tertawa terkekeh-kekeh.

(c) Kak Shanty. Contoh teman-teman yang sangat baik

Para putra pun gatal ingin loncat lagi, tapi air terlihat lebih kotor dari sebelumnya, dan belum dibolehkan lagi meloncat. Sebagai gantinya, kami bermain di ojek kapal yang tadi mengantar makanan. Kami perlahan turun ke kapal dan mengoyang-goyangkan kapal kekiri-kanan. Jika kapal miring sekali, akan ada yang menyeru:

“Et et et!! Udah, udah!!” “Stop! Stop! Terlalu miring.” “Berhenti iih.”

. . .

Mengoyangkan kapal, mengumpulkan kerang, mengubur teman, jalan-jalan nggak jelas, sampai akhirnya waktu makan siang. Ojek kapal telah mengirim makan siang kami, tapi lauk kami juga ditambah ikan asap hasil kerja keras Kak Ali. Setelah makan, kami berpencar lagi dan bermain di daerah pantai tersebut. Tetapi tidak terlalu lama setelahnya, Andini dipanggil oleh mentor. Aku yang di dekatnya mengikuti Andini ke tempat yang lain sedang berkumpul.

“Andini.. Kamu kan tadi sudah lihat-lihat pulaunya. Kira-kira.. Kita perlu bantu bersih-bersih nggak?”

“Umm.. Gimana ya…”

Jawaban Andini campuran dari iya, tidak, dan mungkin. Tapi pada akhirnya, kami melakukannya. Mulailah kami memungut sampah dari pasir, tanah, dan bahkan ada yang nyebur dengan alasan, “Sampah di laut juga banyak!” Di P. Rambut ada banyak sampah plastik dan kaca, tapi yang paling banyak adalah styrofoam. Astaga… Ada yang besar-besar bekas hiasan, bekas tempat makan, dan yang paling ngeselin.. Potongan kecil-kecil yang berserakan dimana-mana. Jangan banyak-banyak pake styrofoam ya~

(c) Kak Lala. Memungut satu-per-satu

. . .

Akhirnya.. Kegiatan resminya sudah selesai. Terlihat para putra yang dari tadi sudah tidak sabar nyebur mulai meloncat-loncat lagi dari pelabuhan. ‘Kegiatan sudah selesai bukan?’ Aku segera ijin dan menyebur kedalam air bersama Anja dan Andini.

Yang laki-laki kemudian ngajak kami meloncat dari atas pelabuhan. ‘Menarik.’ Kami bertiga—aku, Anja, dan Andini—naik keatas pelabuhan dan melihat para laki-laki meloncat dengan bahagia. Agak otomatis, aku diminta oleh Anja dan Andini untuk meloncat duluan. Setelah sedikit ragu, aku akhrinya meloncat ke laut yang di bawah kami.

“Gimana Ta?”

“Bleeh.. Airnya asin banget!”

Tak lama setelahku Anja ikut loncat dan juga Andini—yang kujaga dari bawah. Saat itu kami hanya meloncat berulang-ulang kali dari pelabuhan. Sampai akhirnya sudah waktunya pulang. Tentunya kami meminta untuk tidak pulang duluan. Jadi mereka yang kering mengambil barang dan life-fest masing-masing dan balik ke P. Untung Jawa duluan bersama dengan Kak Lala dan Kak Opal.

Sekarang berarti tinggal aku, Anja, Andini, Ali, Alev, Fakhri, Syauqi, Kak Shanty, dan Kak Ali. Kami loncat berulang-ulang kali sambil direkam Kak Ali atau Kak Shanty sekali-sekali. Sampai akhirnya ojek kapal datang kembali yang berarti waktunya balik.

Kami mengambil tas, boots, life-fest, dan barang-barang teman yang kebetulan tertinggal. Satu-per-satu kami turun ke ojek-kapal (karena pelabuhannya lebih tinggi dari kapalnya).

“Kak kita udah nggak bakal balik ke Pulau Rambut lagi ya?”

Hari itu adalah hari terakhir di perjalanan Ekspedisi Pulau kami berkegiatan di P. Rambut.

Berusaha wawancara.. Lagi

Di bagian paling belakang kapal terlihat Ali dan Fakhri duduk bersenderan ke tiang kayu kapal. Lama-lama kepala mereka terlihat berat. “Sepertinya mereka tidur.”

Sampai di P. Untung Jawa, kami langsung bersih-bersih dari air garam dan pasir di seluruh badan. Di kamarku, aku menawarkan reguku untuk bermain kartu bersama. Jadi kami bermain Hantu/Setan bereempat. Saat kartuku sudah habis, aku keluar dan mengetuk pintu kamarnya Anjing Laut. Aku pun meminta biskuit milik Tre dan Katya yang disimpan di tasnya Tre. Biskutinya adalah biskuit Roma Kelapa yang masih di plastic merahnya. ‘I’m such a good zero-waste officer, oh wow.’

Kami menempatkan biskuitnya ke kotak makan milik Katya dan makan sambil bermain kartu. Sekali-sekali, Andini akan datang dan mengambil satu kepalan tangannya penuh biskuit, menghilang, dan datang lagi melakukan hal yang sama. Akhirnya, kami bosan bermain kartu dan memutuskan untuk ngobrol dengan yang lain diluar. Obrolan kami lama-lama menjadi lomba receh.

“Genting itu bukannya atap rumah ya?” “Genteng!!”

“Genteng bukannya mainan yang lari-larian itu ya?” “Benteng!”

“Benteng bukannya film?” “Ben-Ten!”

(c) Kak Ali. Suasananya. Mungkin

Dan terus saja begitu sampai kami diingatkan sesuatu. Kami harus wawancara 2 orang di P. Untung Jawa. Dengan malas kami mengambil alat tulis untuk wawancara. Kurang ingat apa yang terjadi, tapi setelahnya sebagian besar anak putri mengumpul di kamarnya Regu Putri Doyoung.

“Kalian jalan wawancara kapan?”

“Hmm.. 10 menit lagi lah..”

Tapi ternyata itu  sudah 10 menit kesekian. Mungkin maklum ya. Memang kami lelah, beberapa dari kami bahkan tidur beneran pada saat itu. Akhirnya aku mengalahkan kemalasan dan mengajak Anja untuk jalan wawancara. Jadi dari situlah, aku, Anja, Andini, dan Ceca jalan mencari orang untuk di wawancara.

. . .

Kami jalan kedaerah dengan banyak rumanya. Jalan kemana? Goalnya sih ke PKBM 37 kemaren. Jadi kami berjalan bersama sambil berbisik ke satu-sama-lain.

“Yang itu gih! Deketin! Wawancara!”

Kami sempat belok beberapa kali sampai Anja menemukan orang untuk di wawancara. Aku menawarkan utuk membantu, tapi Anja ingin coba melakukan sendiri. Aku pikir, ‘ditinggal sebentar aja ya?’ Jadi aku mengajak Ceca dan Andini mencari orang lain. Tapi tak lama setelah jalan, Anja sudah balik lagi dan merengek minta jangan ditinggal.

Anja perlu menulis datanya secara diam, jadi kami berhenti sebentar di sebuah taman. Aku yang tadinya sedang ngobrol dengan Anja, kaget melihat Ceca dan Andini dikelilingi anak-anak dari PKBM.

“Ada apa nih?” Kutanya pada Andini.

“Eh kak.. Kakak itu temennya laki-laki ganteng itu kan? Yang pake tas biru?” Tanya salah satu anaknya.

Tas biru? Siapa? Kayaknya yang pake tas biru banyak?

“Alev atau Fakhri kali? Dua-duanya pake biru kayaknya.” Anja katakan padaku.

“Ituloh kak, yang rambutnya suka diginin.” Lanjut anak yang tadi sambil mendorong rambutnya kebelakang lewat jidat.

Kami berusaha menahan tawa. Di OASE, anak yang suka menyapu rambutnya kebelakang seperti itu ada banyak.

“Rambutnya panjang nggak? Sekitar segini?” Tanyaku berusaha menggunakan data sebelumnya, sambil membuat gerakan tangan di atas pundakku. Jika rambutnya panjang, berarti yang dimaksud adalah Alevko.

“Nggak sih…” Jawabnya.

Kami langsung ngerti. Fakhri. Astaga… Anak itu tebar pesona atau gimana waktu di PKBM.

“Oh iya kak! Sama ada juga ya perempuan yang cantik banget. Rambutnya merah kayaknya.” Tanyanya lagi.

Michelle? Aku menjawab dengan beberapa, “ya.. Mungkin.”

“Eh kak.. Katanya.. Kakak-kakak pada kaya ya?” Dia teruskan.

Kami berempat langsung diam. Kami langsung panik. ‘Apakah kami terlihat mencolok?’ Jawab apa astaga. Akhirnya aku tanya balik.

“Tau dari mana nih?” Sambil menyeringai kepadanya.

Dan gentian mereka diam.

“Canda~ Kita duluan ya..” Aku jawab sambil cekikikan, berusaha kabur.

Dan kami berpisah. Sejujurnya, aku merasa bersalah. Aku menjawab mereka dengan jawaban sangat pendek dan sepertinya tampak tidak menerima. Serius, bukannya itu. Hanya saja.. Mereka datang ber-sepuluh mungkin ada? Dan bahkan bertambah. Mereka seperti mengelilingi kami menggunakan sepeda mereka. Wajar untuk agak panik bukan?

. . .

Kami jalan sebentar dan sampai di jalan buntu. Untungnya di situ ada warung, sedang di jaga pula. Jadi aku mendekat ke ibu tersebut dan izin tanya PKBM ke arah mana? Aku berusaha untuk menjadi se natural mungkin dan melanjutkannya menjadi wawancara.

Aku tidak terlalu mendapat namanya, tapi beliau adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang tinggal dengan keluarganya di P. Untung Jawa sejak lahir. Suaminya adalah Ketua RW 03 di pulau ini. Ia juga memiliki 2 orang anak. Salah satunya sudah bekerja sebagai pengajar di Jakarta, dan satu lagi sedang SMA di Jakarta.

Kami melanjutkan perjalanan ke PKBM dan ketika sampai kami sadar. ‘Sekarang gimana?’ Masuk aja gitu? Aku menanyakan ke kelompok kecilku jika mereka ingin wawancara atau tidak. Keputusan akhirnya, kami ke pelabuhan saja.

Di jalan menuju pelabuhan, kami bertemu dengan Ratri, Katya, Michelle, Adinda, dan beberapa anak-anak PKBM. Andini memutuskan untuk ikut mereka dan kami bertiga melanjutkan perjalanan ke pelabuhan. Di pelabuhan, Anja menemukan orang untuk di wawancara, juga Ceca. Jadi aku menunggu mereka di tiang pelabuhan. Saat aku sedang membereskan data, aku melihat seorang nelayan sedang memancing. Aku tertarik dan memutuskan untuk menanya-nanya dia.

Beliau ternyata sedang memancing cumi untuk umpan. Ia menggunakan pancingan kayu dengan tali sepanjang sekitar 10 meter yang memiliki ikan mainan di ujungnya.

Tapi itu saja yang kuketahui tentangnya, karena temannya datang dan ngobrol dengannya. Jadi aku wawancara lagi ke seorang wanita yang terlihat sedang menunggu sesuatu.

Wanita itu bernama Dini. Mbak Dini adalah seorang perkerja di Alfamart yang sedang liburan bersama kedua temannya. Ia hanya disini dari pukul 1 sampai pukul 5. Memang tidak lama, jadi ia hanya sempat ke Pantai Sakura bersama teman-temannya. Ia sudah pernah berkunjung ke P. Untung Jawa dua kali. Ia memilih P. Untung Jawa karena pantainya yang bersih dan airnya yang jernih.

Wawancara selesai, waktunya balik~

Fans-fans Fakhri

Aku meletakan buku catatan dan alat tulis kedalam tasku dan keluar untuk ngobrol dengan yang lain. Diluar terlihat Adinda bersama anak-anak PKBM sebelumnya. Juga terlihat Ratri dan Katya bersama dengan anak-anak yang sepertinya seusia kami. Mereka rupanya disini ingin bertemu dengan Fakhri! Mereka jalan dari ujung timur sampai ujung barat. ‘Niatnya…’ Yang putra langsung rusuh memanggil Fakhri yang sayangnya, dipaksa bangun dari tidur siangnya. Setelah heboh Fakhri berkurang, Michelle keluar dari kamar dan para anak-anak langsung teriak-teriak suka.

(c) Kak Shanty. B e r s a m a. (Aku malu foto ehe)

Langit mulai menggelap dan mereka ditanya jika mereka tidak apa atau tidak sampai semalam ini. Mereka berkata bahwa mereka sudah ijin sampa Isya. Malam datang dan mereka bahkan ikut sholat dan makan malam dengan kami. Pada saat makan malam, mereka tiba-tiba hilang. ‘Apakah mungkin aku kurang perhatian?’

Balik di mess, tiba-tiba ada bunyi motor ditengah-tengah kesunyian sisi barat P. Untung Jawa yang biasanya hening. Motor tersebut ditumpangi oleh seorang pria dan seorang anak didepan dan belakangnya. Yang kukira hanya akan lewat, ternyata berhenti di depan mess.

Rupanya anak-anak PKBM yang tadi seharusnya ngaji, dan dicari oleh orangtuanya masing-masing. Kami diminta bahwa seharusnya mereka dinasehati agar tidak pulang malam. Motornya balik lagi ke sisi timur pulau dan kami ditinggal dengan sunyi yang kurang nyaman.

Dengan kejadian sebelumnya—walaupun aku tidak terlalu terlibat—aku belajar caranya menangani peristiwa seperti berikut. Mungkin lain kali aku jangan sepanik dan clueless seperti sebelumnya.

. . .

Refleksi kami lakukan setelah semua selesai makan. Kami ditanya dengan siapa yang kami wawancara, dan pengalaman kami di P. Rambut. Kami juga ditanyakan bila kami sudah BAB atau belum. Banyak dara kami mengangkat tangan menandakan belum. Mentor kami menasehati kami untuk tidak jijik jika teman kami kenapa-kenapa.

Setiap anak setelah refleksi kembali ke ruangan masing-masing regu dan tidur.

Share this post