Jurnal Ekspedisi D-1: Kita Berangkat~

Pukul 3.30, lagu Dumb Dumb oleh Red Velvet mengisi ruang tidurku. Dengan malas, aku jalan kearah dimana handphoneku sedang diisi baterainya. ‘Pukul 3? Aku ngapain bikin alarm sepagi ini astaga…’ aku pikir. Aku baru saja ingin meloncat balik ke kasurku yang amat sangat mengoda sampai aku mengingat, ‘Bukannya hari ini aku berangkat?’ Aku cepat-cepat pergi ke kamar mandi dan mencuci badanku.

Hari itu, 17 anak-anak Pramuka Oase akan memulai perjalanan 5 hari mereka ke 4 pulau berbeda-beda bersama mentor-mentor mereka.

Naik Sanus lagi?

Setelah mandi, aku memeriksa ulang barang bawaanku sambal mempersiapkan mental untuk perjalanan. Aku memasukan dua tasku kedalam bagian belakang mobil. Satu tas carrier berwarna merah yang kupinjam dari Om Andit yang berisi semua barang-barangku, dan satu tas tenteng berwarna krem berisi satu sisir pisang untuk regu.

Aku dan Ibu (yang nantinya menjadi Kak Lala) berangkat ke pelabuhan bersama dengan Lek Gana, bapak, dan juga Duta yang baru bangun. Kami lewat Kelapa Gading via tol dan sampai ke Pelabuhan Sunda Kelapa tak lama kemudian. Di perjalanan kearah kapal, karena belum sarapan, kami berhenti di sebuah warung yang menjual gorengan untuk membeli sarapan. Kita akan naik kapal besi bernama Sanus, atau lebih dikenal sebagai Sabuk Nusantara 66. Lucunya, ketika kami eksplorasi pulau sebelumnya, kami juga pulang-pergi naik Sanus. Jadi ada perasaan penuh gairah ketika melewati jalan-jalan yang pernah kulewati sebelumnya. Pukul 6 kami sudah sampai di tempat kapal Sanus melabuh, walaupun perjanjiannya mengumpul pukul 6.30, tapi lebih baik kecepetan dibanding telat bukan? Tapi ternyata ada yang lebih kecepetan.

(c) Kak Ali. Bertemu Sanus lagi~

Anja ternyata sudah sampai di posisi sanus melabuh sejak pukul 5.30. Tak lama setelah aku datang, Syauqi datang diantar ayahnya, dan juga Ratri bersama seluruh keluarganya. Satu persatu anak-anak yang lain mulai berdatangan. Setiap kali ada mobil yang datang kearah kapal, kami akan menebak-nebak, ‘Kira-kira itu siapa ya’. Kadang juga, penumpang mobilnya bukan bagian dari rombongan kami dan kami akan tertawa cekikikan dengan malu.

. . .

Ketika semua sudah berkumpul, kami foto dulu sebentar dan mengumpulkan ID Card ke Kak Shanty. Satu-per-satu kami dipanggil oleh awak kapal dan masuk kedalam Sanus. Kami ke bagian bawah kapal yang diisi dengan 4 deretan bunk-bed yang memiliki sekitar 15 pasang disetiap deretannya. Kami meletakan tas kami di deretan paling kiri dan kedua paling kiri. Tidak banyak berubah dari terakhir kali kulihat.

Setelah meletakan tas, kami ke dek kapal dan melambai selamat tinggal kepada keluarga, teman, dan keluarga teman. Sebelum kami menyebar ke sisi-sisi kapal, kami dipanggil oleh mentor-mentor kami. Kami diberitahu tentang kapan kami akan sampai di Pulau Untung Jawa dan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Daaaann… Selain Kak Shanty, Kak Lala, dan Kak Opal, kami akan memiliki mentor baru! Kami diperkenalkan dengan Kak Ali, seniornya Kak Opal. Setelah brieving, kapal mulai jalan. Kami keluar lagi ke dek kapal dan melihat bagaimana kapal keluar dari parkirannya dan berangkat menuju lautan yang lebar.

(c) Kak Shanty. Bunk-beds!!!!

Berusaha wawancara

Ketika sedang senang-senang memandangi laut, mengenang eksplorasi pulau yang sebelumnya, dan juga berbincang tentang hal-hal kesukaan, ada suatu hal yang membuat kami gelisah pada saat itu. Lamanya perjalanan ke Pulau Untung Jawa hanya sekitar 1 sampai 1 ½ jam. Dan kami memiliki tugas untuk mewawancarai seorang penumpang kapal. Bagi beberapa orang, termasuk aku, waktu 1 jam itu cukup untuk membuat kami gelisah dengan siapa yang harus kami wawancara. Apalagi ketika mengetahui bahwa ada yang sudah mewawancarai seseorang, padahal kapal baru berjalan sekitar 15 menit (*uhuk* Trisha *uhuk*). Akhirnya aku dan Anja bekerja sama untuk mencari orang untuk di wawancara.

Ketika sedang mengambil buku catatan didalam tas, ada rombongan kecil yang sedang ngobrol didepan kami. Menurutku mereka terlihat lumayan muda dan gampang didekati atau ditanya.

“Tata, Tata.” Panggil Anja sambal berbisik.

“Kamu mau wawancara yang didepan kita ya?” Aku jawab, dengan volume yang mirip, sambil menebak-nebak.

“Ih kok tau sih!??” Jeritnya kaget, sambil tertawa-tawa.

Kami berdua ternyata memikirkan hal yang sama. Kami berdua ingin wawancara orang yang sama. Kami saling membantu sih jadi terserah siapa duluan yang memulai percakapan. Masalahnya, kami berdua terlalu malu untuk memulai.

“Dek, ini pada dari mana aja?”

Ditengah-tengah pertengkaran kecil kami untuk siapa yang duluan bertanya, kakak didepan kami memulai percakapan kecil dengan kami. ‘Oh.. untungnya’.

“Dari Jakarta kak.”

“Rombongan? Ada berapa orang?”

“Iya kak, ada 17 anak.”

“Sama gurunya tadi ya?”

“Iya kak.” “Eh kak.. Boleh di wawancara nggak?” Tanya Anja agak malu-malu.

Untungnya kakak, yang bernama Sani, tersebut mau diwawancara. Kak Sani adalah seorang Wira Swasta yang ingin jalan-jalan ke sekitar Pulau Seribu. Ia dan ketiga temannya akan ke Pulau Harapan dan menginap semalam disana. Selama seluruh percakapan kami, Kak Sani ngobrol sambil memakan mie gelas yang sangat agak menggoda. Setelah bertanya-tanya kami ditanya balik, tentang homeschooling dan perjalanan kami.

Percakapan berhenti ketika yang teman-teman datang untuk mengambil/memasuk barang ke tas mereka. Kami berterima-kasih ke Kak Sani dan teman-temannya dan pergi mencari orang lain untuk diwawancara. Ketika aku dan Anja sedang mencari orang untuk diwawancara, Trisha ternyata sudah mewawancarai 2 orang, dan bahkan ingin mencari lagi. Itu membuat mata kami membelalak karena terkejut dan takjub.

Orang yang selanjutnya diwawancara adalah seorang bapak-bapak yang sedang duduk di deretan kursi kapal.

“Misi pak, boleh kami wawancara?”

“Untuk apa ini?”

“Ada tugas pak.”

“Mau pisang nggak?”

Kami menggeleng kepala kepadanya.

“Kalau mau wawancara harus makan pisang dulu! Sini duduk disini.” Panggilnya sambil mengkosongkan kursi di sebelahnya.

Dengan sungkan, kami duduk disebelahnya dan mulai bertanya kepadanya. Kami mulai dengan bertanya tentang kemana beliau akan pergi, dan juga apa yang beliau lakukan disana. Kami juga menanya nama dan pekerjaannya, tapi jawabannya… agak belok.

Jika misalnya kita bertanya tentang namanya, ia akan menjawab dengan nama-nama pulau yang ada didekat P. Jawa. Dia bercerita tentang pulau-pulau yang kapal Sanus akan berhenti dan apa yang ada disana. Beliau juga bercerita tentang pulau-pulau di Kepulauan Seribu dan apa yang bisa dilihat disana. Jawabannya sebenarnya tidak menyambung dengan pertanyaan kami, setiap jawaban pun saaaangat Panjang. Tetapi kami yang tidak ingin—sebenarnya tidak bisa—menghentikannya hanya bisa mendengarkan dengan sabar.

(c) Kak Shanty. Menyimak cerita Pak Ian

Informasi tentang bapak ini sendiri pada akhirnya kami dapatkan. Pak Ian ini adalah pria berusia 60 yang ternyata sudah 52 tahun memancing. Beliau dan ketiga temannya sering pergi jalan ke pulau-pulau untuk memancing di pelabuhannya. Tadinya, setiap pergi ke pulau, mereka akan menyewa homestay untuk semalam atau beberapa malam. Tetapi lama-lama mereka merasa bahwa homestay terlalu mahal, dan mereka sebenarnya tidak menghabiskan banyak waktu di homestay tersebut. Jadi mereka seringkali hanya menginap di pelabuhan pulau.

Akhirnya, kami memutuskan bahwa data kami cukup dan balik ke bagian kapal yang berisi dengan bunk-bed yang memiliki seprei hijau. Tak terasa, kami baru bermain-main sebentar, tapi pengunguman kapal memanggil mengatakan bahwa kapal Sanus telah tiba di Pulau Untung Jawa. Kami bergegas menenteng tas masing-masing, berpamitan ke penumpang kapal yang kami sempat kenalan sebelumnya, dan menunggu kapal melabuh di Pelabuhan Pulau Untung Jawa.

Tangga yang tidak disukai Pak Ian

Ketika aku dan Anja wawancara Pak Ian, Pak Ian bercerita tentang sebuah jembatan yang ada di Pelabuhan Pulau Untung Jawa. Jembatan tersebut sebenarnya bisa dibikin lurus seperti jembatan-jembatan lainnya. Tetapi untuk melewati jembatan tersebut, kamu harus naik tangganya yang sekitar 3-4 meter tingginya, dan turun ke daratan yang tidak jauh beda tingginya dari pelabuhan.

“Yang bikin jembatan itu orang bodoh!” Ungkap Pak Ian.

Dan pada saat itu, kami bisa lihat mengapa Pak Ian berkata begitu. Kami menyeret beban tas carrier masing-masinig dengan susah payah. Kami yang muda saja sudah ngos-ngosan, apa kabar Pak Ian? Perlahan tapi pasti, kami sampai di permukaan P. Untung Jawa. Kami istirahat sebentar, dan kembali jalan lagi.

(c) Kak Shanty. Di atas jembatan tinggi

Waktu kami di kapal, ternyata ada penumpang yang kami kenal tempo hari. Waktu ekspedisi tahun lalu Pak Aji mengajak kami ke PKBM di P. Harapan. Kali ini pun Pak Aji mengundang dan mengantar kami ke PKBM 37. Pada saat jalan, hanya ada suara perbincangan atau suara panci dan jerigen yang menggantung dari tasku membuat bunyinya. Antara karena mereka mengenai satu sama lain, atau diketuk-ketuk temanku.

. . .

PKBM 37 saat itu lumayan rame. Ada anak sedang bermain di luar bangunan, di dalam kelas, dan juga bersama guru-gurunya. Ketika sampai, kami diperbolehkan untuk meletakkan tas dan istirahat. Kami menggunakan waktu tersebut untuk minum, meregang tubuh—punggung, kaki, pergelangan dan jari tangan—dan saling memijat satu sama lain. Setelah hal-hal sepele tersebut, kami berfoto bersama Pak Aji dan guru-guru di PKBM 37. Pak Aji juga bercerita bahwa anak-anak pulau yang ingin UN (Ujian Nasional) akan pergi ke PKBM 37 ini. Beliau bahkan menawarkan kami untuk ujian disana tahun depan.

(c) Kak Shanty. Finally a rest after… 10 minutes

Perjalanan masih panjang, anggap saja PKBM 37 sebagai checkpoint kami yang berjararak ¼ dari jarak kami ke finish secara total. Dengan susah payah, kami berdiri kembali dan pamit ke guru-guru di PKBM 37. Melanjutkan perjalanan ke Mess BKSDA (Badan Konservasi Sumber Daya Alam).

. . .

Untuk perlengkapan regu, aku meminta Adinda membawa tas berisi pisang agar aku bisa membawa tenda kami yang lumayan besar. Tenda yang dipelukanku tersebut akan seringkali merosot dari peganganku secara perlahan dan aku harus membetulkan posisi sekali-sekali. Pada saat itu juga aku mengenakan jam tangan yang gampang lepas. Ketika sampai di mess, akupun tersadar bahwa jam tanganku hilang. ‘Mungkin jatuh di jalan.’ Pikirku.

(c) Kak Shanty. otw Mess BKSDA

Tiba di Mess BKSDA

Saat sampai di Mess BKSDA, dengan dramatis kami melepas beban masing-masing ke lantai mess. Kami duduk di lantai dan mengeluarkan minum atau perbekalan lainnya. Aku mengeluarkan pisang goreng yang kubeli untuk sarapan dan botol minumku. Saat itu juga kami bercanda ke satu sama lain. Kaysan sempat membuat kami membelak mata ketika ia mengatakan bahwa kami akan tidur di teras luar mess tersebut. Ketika rasa lelah sudah berkurang, aku ijin ke mentor untuk mencari jamku. Untungnya Anja mengajukan diri untuk menemaniku. Sayangnya—bahkan dengan ke-empat mata kami—kami tidak dapat menemukan jam tangan berwarna biruku.

Tak lama setelah aku dan Anja balik, penjaga messnya datang membawa kunci yang banyak dan membuka kamar-kamar yang ada di mess. Paling kiri adalah kamar Regu Dublob dan Kak Lala, sebelahnya ada kamarnya Regu Putri Doyoung (Reguku!!!) dan Kak Shanty, sebelahnya lagi adalah kamar milik Regu Anjing Laut dan Kak Ali, dan terakhir adalah kamar dengan Regu Garam Laut dan Kak Opal sebagai penduduknya.

Setiap kamar memiliki bentuk yang kurang lebih mirip. Lebar kamarnya mungkin tidak lebih dari 4 x 7m, dan hampir setengah dari kamarnya berisi kasur tumpuk typical yang sepertinya queen size. Di lantai juga terdapat kasur tipis kecil yang langsung kutempati. Dindingnya berwarna putih-krem polos. Kami menata—atau lebih seperti menggeletakan—tas carrier kami di satu sisi dindingnya, yang juga kebetulan memiliki kaca yang sekitar 1 meter panjangnya. Di pojokan kamar itu pun juga ada TV model lama yang ternyata bisa dinyalakan (walau memiliki sinyal yang buruk). Pas diatas TV tersebut terdapat AC yang selalu nyala dan di suhu 27˚C. Di pojokan sebelah pojokan milik TV dan AC, terdapat pintu plastik yang mengarah ke kamar mandi kecil.

Selesai menyerap informasi tentang kamar tidur, kami keluar dari kamar masing-masing dan melanjutkan percakapan sebelumnya. Para mentor pun menyarankan kami untuk memakan—lebih ke minum sih—kelapa muda. Tadinya kami mewakilkan beberapa orang dari regu masing-masing, tapi kami malah semua ke tempat kelapa muda dijual. Tempatnya sendiri tak jauh, bisa dibilang ada di belakangnya Mess BKSDA. Sampai disana yang lain telah memesan 2 batok kelapa untuk setiap regu.. Kecuali Regu Garam Laut. Garam Laut telah memesan satu batok kelapa untuk setiap orang, yang berarti 4 batok kelapa secara total.

Ketika kelapanya datang, kami berebutan untuk siapa duluan yang akan mendapatkan kelapanya. Karena di Regu Putri Doyoung kami berempat, Adinda dan Michelle berbagi satu batok, selagi aku dan Katya berbagi yang satu lagi. Kami yang berdua makan satu saja lama, mungkin bisa dibayangkan Garam Laut yang memesan satu per orang. Ajaibnya, Kaysan dari Garam Laut masih dapat menerima dan menghabiskan kelapa muda milik Michelle dan Adinda yang tidak dapat habis.

Michelle sadar bahwa makan kelapa muda adalah sebuah pengurangan uang regu, jadi ia mengambil buku dan mencatat pengeluaran regu, mulai dari uang belanja bahan masak sampai kelapa muda siang itu.

Tak lama setelah menikmati kelapa muda, kami makan siang yang sebenarnya. Kami disediakan nasi, ikan yang sepertinya bakar, cumi goreng, dan sayur-sayuran. Kurang tahu karena ada ikan atau memang karena makanan, tetapi makanan kami mengundang banyaaaaak sekali lalat dan kucing. Kadang ada pekikkan terkejut ketika kaki seseorang dilewati kucing.

(c) Kak Ali. Makan~

Burung dimana-mana!

Waktunya mulai konservasi! Kami diminta untuk mengeluarkan boots dan menyiapkan bawaan seperti botol minum, anti nyamuk, alat tulis, dan catatan. Masing-masing kami diminta untuk memakai life-fest yang sudah disiapkan. Ojek kapalnya tidak terlalu besar, jadi kapal harus pergi mengantar rombongan pertama, balik lagi, baru dapat menjemput rombongan selanjutnya. Yang pertama berangkat adalah Regu Dublob, Regu Anjing Laut, Kak Lala, dan Kak Shanty. Sambil menunggu, Regu Putri Doyoung, Regu Garam Laut, Kak Ali, dan Kak Opal berteduh dan berbincang tentang hal-hal aneh sambil melihat-lihat batu karang yang hanyut.

(c) Kak Shanty.

Ketika ojek kapalnya sudah balik, kami perlahan menaiki kapal yang miring-miring karena berat kami dan arus. Kami diturunkan di sebuah pantai kecil di Pulau Rambut dan berjalan sedikit dari situ untuk sampai di meeting point. Melewati pohon dan akar kecil, kami sampai di tempat yang memiliki pohon-pohon yang tinggi. Di kanan terdapat 4 bangunan—yang sepertinya hanya satu bangunan yang digunakan—dan juga pantai yang dibatasi batu-batu kotak dan besar yang banyak di sisi kirinya. Di pantai terdapat teman-teman sedang bermain-main di pasir atau duduk di batu persegi yang besar. Sambil melewati waktu, aku, Katya, dan Trisha berusaha mencari kerrang yang menurut kami cantik.

Ketika Petugas BKSDA datang, kami diminta berkumpul oleh Kak Shanty. Kami diperingatkan untuk tidak terlalu berisik dan berhati-hati pada saat kami menjelajah kedalam hutannya Pulau Rambut. Kami dibagi menjadi dua kelompok lagi, mirip seperti kelompok siapa yang akan naik kapal duluan dan selanjutnya tadi, tapi bedannya Kak Shanty dan Kak Ali ditukar jadi di kelompokku ada Putri Doyoung, Garam Laut, Kak Shanty, dan Kak Opal.

Langkah pertama kedalam hutannya dan dapat terdengar bunyi *kresek kreser* dari kaki kami yang menginjak daun-daun kering berwarna oranye. Ditengah jalan kami belok ke kanan dan keluar dari jalan setapak batu dan berpisah dari kelompok di depan kami. Beberapa langkah di tanah, tiba-tiba terdengar *kresek kresek* yang lebih berisik dan lebih heboh dari suara langkah kaki kami. Di kiri kami terlihat daun dan tanaman muda bergoyang dengan ribut dan sebuah rupa berwarna gelap yang ikut bergerak dengan suaranya menjauh. Ternyata tadi ada biawak yang tidak lebih jauh dari 2 meter dari kami.

Perjalanan beberapa menit kami berhenti di Bird Hiding. Menurutku bentuk fisiknya mirip dengan treehouse, tapi nggak di pohon. Bangunan tersebut tidak memiliki sumber cahaya lain selain sebuah bolongan panjang yang ada di dua sisi dinding yang memiliki papan kayu dibawahnya. Bolongan tersebut mengarah ke puncak-puncak pohon yang penuh dengan burung bertengger atau berterbangan. ‘Seperti arisan.’ Aku pikir. Ada yang putih, ada yang hitam, ada yang kecoklatan, ada juga yang campuran dari semua itu. Kaysan yang ternyata bawa kamera dan binocular memperbolehkan kami untuk meminjamnya dan melihat burung-burung yang ada.

(c) Kak Shanty. Ciluk.. Baa!!

Ketika aku mendapat giliran di binocularnya, aku memusatkan fokusnya ke seekor burung berwarna putih dengan leher panjang yang sedang bertengger. ‘Ia seperti patung yang sedang berpose.’ Pikirku. Petugasnya dan Kaysan menjelaskan bahwa ada Cangak Abu, Pecuk Padi, Pecuk Ular, dan beberapa jenis lain yang dapat kami lihat pada saat itu.

Aku berusaha untuk menggambar beberapa burung disana, tapi sayangnya sebelum aku selesai menggambarnya, ia sudah kabur dari pandanganku. Setelah kami sudah puas dengan memandangi burung dari … kami jalan lagi ke pos selanjutnya. Untuk sampai di pos selanjutnya, kami harurs balik ke jalan setapak. Jadi dengan waspada aku jalan sambil melihat sekitar. ‘Siapa tahu nanti ada biawak lagi muncul.’

Ketika kami sedang jalan di rute jalan setapak, kami melewati bangunan kecil yang seperti igloo kaca yang sepertinya sudah lama sekali tidak digunakan. Katanya bangunan tersebut tadinya akan digunakan untuk jika ingin pengamatan malam, tapi sayangnya dalamnya panas sekali jadi sulit untuk melakukan penelitian di dalamnya. Selain itu, kami juga melewati pohon mati yang besar. Di dasar pohon itu sesuatu yang panjang dan diam ditempat, ‘Ekor biawak,’ ternyata di pohon tersebut terdapat seekor biawak sedang bertelur. Tak hanya itu, kami juga sempat melewatkan pohon mati yang lebih kecil dibanding yang sebelumnya. Bedanya, di pohon tersebut tidak ada biawaknya. Yang ada hanyalah beberapa telur ular yang terlihat bolong dan agak hancur. ‘Sepertinya ada biawak yang telah memakannya.’ Hal lain yang kami lihat di perjalanan kami adalah kulit ular yang sedang gelantungan di dahan pohon. Katanya pemilik kulit tersebut untungnya tidak berbisa.

Akhirnya kami sampai di tujuan kami. Yaitu sebuah menara besi tinggi yang katanya memiliki tinggi 20 meter. Satu per satu, kami naik ke atas menara yang amat sangat tinggi tersebut. Di atas anginnya lirih dan nyaman. Dari atas terlihat ujung pohon-pohon tinggi, termasuk pepohonan termpat burung-burung yang tadi arisan. Aku menggantungkan kaki setengah karena memang ingin, setengah lagi karena ingin menakuti Katya yang takut ketinggian. Yang lain juga menggantung kaki mereka, tetapi Kak Shanty tidak membolehkan kami karena bahaya. Ketika sedang tenang-tenang bercanda dan menikmati angin, botol plastik syauqi jatuh, membuat suara cempreng di besi menaranya dan menglinding sedikit. Kejadian terebut sukses membuat yang lain teriak panik dan tertawa cekikikan.

(c) Kak Shanty. Tinggi, tinggi, sekali~

Angin mulai makin kuat, jadi kami diminta untuk turun dari menara. Setelah semua tiba di daratan, kami jalan kembali ke meeting point dan bertemu dengan yang lain. Kami bermain di pantai sedikit lagi dan memutuskan bahwa kali ini Regu Putri Doyoung, Regu Garam Laut, Kak Ali, dan Kak Opal akan balik ke P. Untung Jawa duluan. Jadi kami mengenakan life-fest dan jalan kearah tempat ojek kapal melabuh.

Ditengah-tengah perjalanan ke posisi ojek kapal sedang melabuh, di salah satu batu kotak besar terdapat bentuk aneh. Dan ternyata ada biawak sedang tiduran di batu tersebut. Ia tetapi diam. Perlahan kami melewatinya dan berusaha untuk tidak menggangunya. Ketika sedang naik ojek kapal, kapal bergoyang-goyang lagi sampai kali ini Kaysan jatuh ke bagian dangkal laut.

(c) Kak Ali.

Ketika sampai balik di P. Untung Jawa, kami bergegas melepas life-fest yang saat itu terasa saaangat gerah. Saat itu juga kami balik ke ruangan masing-masing dan istirahat.

Zero-Waste? Apa itu?

Di kamar Putri Doyoung + Kak Shanty, beberapa dari kami mengaku lapar.

“Eh, eh, ada yang bawa snack nggak?”

“Aku ada di dalem tas. Oh, sama ada biskuit lain di tasnya Tre.” Jawab Katya

Aku yang paling di dekat tas Katya menyeret diri ke tas kuning Katya. Ternyata didalamnya terdapat kotak makan berisi keripik dan satu bungkus TimTam original. Tadinya aku ingin ke kamar Anjing Laut untuk meminta biscuit dari Tre, tapi aku ingat Anjing Laut belum sampai.

Jadi gini.. Sebenarnya ada aturan untuk tidak boleh membawa makanan yang beli jadi. Jika ingin biscuit, harus membawa biscuit buatan sendiri. Dan yang pasti kami harus zero-waste di perjalanan ini. Tapi… Ya.. Kami lapar? Apakah itu alasan yang cukup baik?

Ketika kami sedang ngobrol sambil memakan snack yang sama sekali tidak zero-waste, tiba-tiba ada suara seseorang dari luar kamar yang kami kenal baik.

“Kak Shanty balik! Kak Shanty balik!” Pekikku sambil berusaha bersuara sepelan mungkin.

Kami bergegas menyelipkan sampahnya di tas Katya dan berusaha tidak terlihat seperti habis makan biskuit coklat.

Tanahnya kok keras sih?

Di regu, sudah dibagikan peran setiap orang. Misalnya di regu kami, Michelle menjadi ketua, Katya menjadi wakil ketua, Adinda menjadi juru masak, dan aku menjadi petugas zero-waste (yang mengerjakan tugasnya dengan sangat baik ;)). Sore itu, semua petugas zero-waste dipanggil oleh Kak Opal dan diminta untuk membuat lubang organik untuk sampah sisa makanan.

Pada saat sedang ditanya-tanya tentang sampah regu oleh Kak Opal, aku langsung deg degan takut. ‘Ketahuan ya? Emang kelihatan dari mana? Apakah ini hanya kita kurang beruntung atau gimana?’ Untungnya bukan tentang sampah non-organik perbincangannya.

Ketika sedang mencari tanah untuk digali, pilihan pertama kami adalah sebuah daerah teduh yang dekat dengan laut dan sepertinya memiliki tanah empuk. Oh, dan juga dibawah pohon. Agak bodoh bukan? Bisa saja kami bertemu akar tebal dan kami akan kesulitan pada akhirnya. Tapi nyoba-nyoba aja nggak apa, ya nggak? Ternyata yang mengesalkan bukan akar tebal. Lebih kepada permukaan yang memiliki campuran tanah keras dan karang. Karena kesulitan, kami sempat mencari tempat lain yang semoga lebih gampang digali. Tapi hasilnya antara sama saja, atau lebih buruk.

“Yang tadi udah mayan dalem, terusin aja.”

Hasil dari galian kami tidak terlalu dalam, tapi lumayan. Kayaknya.

Kok Ibu nggak ngontak?

Tanpa terasa, langit menggelap dan sudah waktunya makan malam. Kami berdoa bersama dan mengambil piring oranye lebar yang kami juga gunakan siang tadi. Ditengah makan malam tiba-tiba ada suara.

“Trisha! Trisha! Sini Trisha! Ada mama nih.” Panggil mentor kami (Lupa yang mana, ehe) sambil mengangkat handphonenya.

Ternyata sudah waktunya. Waktunya. Ditelfon ortu. *Jeng jeng!!!*. Secara bergantian, setiap anak dipanggil dan diberikan 3 menit untuk mengobrol dengan ortu di handphonenya mentor. Selagi makan, aku dan Kaysan bermain-main dan berkata bahwa kami sangat kangen ortu, juga bahwa ibu pasti tidak akan mengontak. Tapi ternyata kami masih dikontak oleh bapak masing-masing.

Makan malam sudah selesai, tetapi acara mengontak ortu belum, karena ada beberapa anak yang belum ditelfon ortunya. Kami melanjutkan acara mengontaknya selagi waktu memulai sesi refleksi.

Di sesi refleksi, kami ditanya tentang siapa yang kami wawancara wakti di kapal, dan apa yang menurut kami paling menarik tentang Pulau Rambut. Kami juga diceritakan bahwa esok, kami harus bangun pagi karena kami akan susur pantai!

(c) Kak Shanty. Refleksi

Jadi malam itu semuanya siap-siap tidur dan masuk ke kamar masing-masing. Tapi tentu, ada beberapa yang tidak langsung tidur.

Share this post