Bakpao

Aku mengucek mata. Suara hujan masih terdengar di luar. “Jam berapa ini?”

Pandanganku tertuju pada jam dinding. Tepat jam 12 malam. Aku sudah tertidur sejak tadi, tapi sesuatu membangunkanku.

Wangi khas bakpao ayam yang baru matang menggelitik penciuman, membuatku terjaga di tengah malam. Namun aku ragu untuk beranjak dari tempat tidur. Rasanya mustahil ada orang yang memasak bakpao tengah malam begini. Apalagi sekarang cuaca dingin karena hujan belum berhenti menyapa bumi. Namun rasa lapar mulai mengalahkan rasa kantuk di mata. Tak urung kucoba turun perlahan dari tempat tidur….

Aku beranjak keluar dari kamar tidurku, berusaha untuk tak bersuara.

“Gelapnya…” Gumamku melihat rumah yang gelap gulita di malam yang sudah larut ini.

Perutku bergetar dan membuat bunyi yang amat-sangat-indah mengingatkanku pada alasan aku sebenarnya keluar. ‘Sepertinya baunya dari luar,’ pikirku. Jadi aku melakukan lari kecil menuju pintu utama dan menggenakan sendalku, berupaya untuk tidak membangunkan orangtuaku yang sedang tidur.

Diluar pagar, jalanan amat sangat sepi. Satu-satunya tanda kehidupan adalah seorang pria lansia. Pria tua itu ditemani oleh sebuah gerobak bakpao. Aku jalan mendekati gerobak tersebut. Semakin dekat, detil gerobaknya semakin terlihat. Seperti garis-garis di kayunya, dan cat yang mulai kelopek; Juga kukusan besar yang mengeluarkan asap, biang dari bau harum yang membangunkanku; Tertempel juga stiker dari kartun-kartun lama, mendekorasi gerobak tua itu.

“Met’ malam, kek!” Sapaku sambil jalan.

“Malem, dek. Cepat sini berteduh bareng kakek.” Sahut sang kakek, membuat gerakan tangan kecil sambil menghembus rokoknya.

Semakin dekat, semakin terlihat rupa asli pria tua itu. Tubuhnya dilindungi dengan payung yang amat sangat besar berwarna putih dekil; Pakaiannya sepertinya tidak terlalu hangat, tapi tidak ada tanda-tanda bapak itu mengigil di tengah hujan ini; Ketika ia melihatku jalan mendekat, dapat dilihat sebuah senyuman melukisi mukanya yang berkriput itu. ‘Kok mukanya nggak asing ya?’ Kataku dalam hati. Ia menjatuhkan rokoknya ke tanah.

“Mau beli bakpao dagingnya dong, kek.” Ujarku ketika sudah disebelahnya.

“Wahh.. Belum kakek panasin nih… Kamu mau ikut keliling sambil nunggu nggak?” Jawab kakek tersebut sambil menginjak rokoknya.

“Hmm.. Boleh deh!” Sahutku. Aku sepertinya tidak dapat tidur kembali tanpa memakan bakpao yang sudah sangat dekat ini. Lagi pula, kakek tersebut terlihat baik hati.

Jadi kami jalan di keheningan.

“Kok kayaknya muka baru? Baru pindah, dek?” Tanya sang kakek.

“Iya kek. Ayah ada kerjaan di daerah sini, jadi kami pindah ke rumah lamanya nenek.”

“Oooo..”

***

Kami kemudian berhenti di sebuah lahan kosong yang sangat… Berantakan. Berbagai pohon tinggi disekelilingi rumput-rumput tinggi. Tapi pohon yang paling menarik perhatianku adalah pohon jambu besar yang memiliki rumah kayu diatasnya.

Kakek mengajakku duduk berteduh dibawah salah satu pohon yang ada. Ia memberiku satu buah bakpao daging hangat dan duduk disampingku.

“Makasih..” Gumamku. Aku melahap bakpao tersebut dengan penuh nafsu, “enak sekali bakpao ini, kek!”

Sang kakek tertawa senang dan mengikuti pandanganku kearah rumah pohon ditengah ladang. “Oh rumah itu! Tahukah kau? Rumah pohon itu sudah ada sejak kakek kecil loh..” Jelas sang kakek, “Senang sekali kakek rumah pohon ini masih ada. Banyak kenangan ada di pohon itu, dan semoga akan terus bertambah!”

Aku memandang terus sang kakek yang menjelaskan tentang rumah pohon itu dengan mata berbinar,

“Disana ada kenangan kakek bersama kawan kakek, juga kenangannya putri kakek bersama teman-temannya…” Cerocos sang kakek, “Dan kakek harap, cucu kakek juga dapat memiliki kenangan disini juga! Tahukah kamu? Putri kakek akan melahirkan beberapa bulan lagi! Melahirkan seorang putri yang cantik dan pemberani. Waah… Betapa aku tak sabar untuk bertemu dengan sang cucu..”

Kami kemudian bertukar cerita sambil bercanda sedikit. Senangnya diriku, cerita-cerita sang kakek membuat hujan malam itu menyenangkan dan sangat magical.

Sang kakek kemudian mengantarku sampai kembali kerumah. Juga bahkan memberiku sekantong bakpao yang dapat kupanaskan sendiri nanti. Ketika aku hendak mengambil uang untuk membayar, ia berkata bahwa menghabiskan waktu dengan cucu kesayangannya sudah lebih dari cukup sebagai bayaran. Senangnya! Sang kakek sudah menganggapku sebagai cucunya. Malam itu aku meneruskan tidurku dengan sangat nyenyak.

***

“Dek.. Ayo bantu beresin garasi.” Panggil suara nyaring Ayah.

Ketika aku beranjak kedalam garasi, dapat terlihat berbagai kenangan yang dimiliki keluarga nenek sejak dulu. Tetapi ada sesuatu hal spesifik yang menangkap perhatianku.

“Ayah, apa itu?”

“Apa? Oh! Itu gerobak bakpao milik kakekmu! Ia dulu suka keliling menjual bakpao di waktu kosongnya, kadang bundamu menemani juga. Dulu bakpaonya sangat terkenal lho!” Jawab Ayahku dengan bangga.

Gerobak itu persis dengan yang dipakai “kakek” semalam. Bahkan sampai stiker kartunnya sama.

“Kakek sekarang dimana?” Tanyaku penasaran.

“Mmm… Sini Ayah antar kesuatu tempat sebentar.”

***

Kiri. Lurus sekitar 200 meter. Belok kiri di per-tigaan. Lewati pos satpam. Dan di sebelah rumah besar berpagar hitam itu seharusnya ada lapangan semalam–

Eh? Kuburan?

Aku memandang Ayah dengan heran, tetapi terus mengikutinya. Kami kemudian berdiri didepan sebuah kuburan. Di batu nisan tertulis seseorang yang memiliki nama belakang yang sama denganku… Ia meninggal tahun.. 

“2000?” Tanyaku pelan.

“Iya. Ia meninggal beberapa belum sebelum kamu lahir.” Jawab Ayah.

Hening. Aku celangak-celinguk.

“Rumah pohonnya mana?” Tanyaku lagi.

“Semua pohonnya ditebang karena tidak ada lahan yang cukup untuk mengubur orang–Eh tunggu, kamu tahu dari mana ada rumah pohon disini?”

“Eh, mmm.. Kurang tahu, yah.” Jawabku jujur.

Mungkin semalam hanya mimpi yang mistis.

***

“Dari mana saja kalian? Sini ada cemilan!” Panggil Bunda ketika kami kembali ke rumah.

“Waahh Bakpao! Dari mana ini, bun?” Tanya Ayah sambil melahap bakpao daging yang dihangatkan Bunda.

“Lho, tak kira punya mas!” Seru Bunda kaget, “tadi Bunda temuin sekantong di kulkas. Punya kamu, nak?” Tanya Bunda.

Tetapi aku tidak bisa jawab.

Share this post