IMG_20200229_074150

Lapangan Sepak Bola

Ketika aku jalan sore, harus ada tempat yang ditujui. Sebagai motivasi berupa tujuan dan agar tidak tersesat. Biasanya pilihanku hanya satu tempat ini.

Dasar dari tempat ini adalah lapangan sepak bola. Lapangan ini berbentuk oval atau lebih tepatnya persegi dengan pojokan yang bulat. Rumput di lapangan ini kira-kira setinggi betis seorang dewasa dan selalu terlihat hijau, lebat, dan sehat. Di kedua ujung lapangan terdapat tiang gawang, terbuat dari besi yang mulai berkarat dan jaring-jaring putih yang terpasang rapih. Pinggiran lapangan ini dikelilingi dengan jalan setapak dengan lebar kira-kira 1 meter. Karena ini area umum, banyak yang menggunakan lahan disekitarnya untuk bercocok tanam. Bahkan ada yang melakukan budidaya ikan kolam menggunakan terpal.

Sisi pertama bisa disebut area masuk. Ada trotoar seukuran dua kendaraan dan rumah-rumah berjejer di sebrangnya. Celah di antara lapangan dan trotoar lumayan lebar, cukup untuk tenda besi yang biasa digunakan sebagai pasar atau warung kaget di pagi hari. Hal lain yang ada di sisi ini adalah sebuah warung dan tenda besi berperan seperti gazebo berisi dengan kursi dan meja. Biasanya area ini ramai, hingga suatu hari datang sang badai yang biasa dipanggil dengan huruf pertama “C” dan “ovid-19” dibelakangnya.

Sebaliknya adalah sisi favoritku, dengan pepohonan tinggi dan rindang. Suara angin terdengar paling kencang di sini, meniup semua ranting pepohonan dan lonceng bambu di bangunan dekatnya, memberi sound effect seakan-akan kita ditransportasi ke dimensi lain di tengah sang hutan.

Pemandangan dari sini sempurna untuk dilukis; memandang sisi sebaliknya, warna hijau mendominasi area bawah dan langit biru cerah mewarnai bagian atas. Ada bonus apartemen pendek—sepertinya kurang dari 10 lantai—berwarna putih dengan aksen kuning dan biru, juga belasan communication tower warna merah-putih ikut serta mendekorasi.

Setiap aku berkunjung, tempat ini selalu “hidup”, alias ramai dengan orang berkegiatan. Kata ibu, setiap minggu pagi tempat ini suka digunakan dokter-dokter untuk olahraga mingguan mereka. Kadang lapangan diggunakan penuh oleh sekelompok remaja bermain sepak bola. Di waktu lain, hanya satu gawang digunakan oleh geng murid baru pulang sekolah, yang di seberangnya diggunakan rombongan lain. Terkadang ada pojokan yang diggunakan sepasang kakak beradik bermain bola yang menggunakan sendal mereka sebagai gawang. Atau ada waktu di sore hari di mana pojokan jalan setapak terdapat gerombolan anak kecil harum sabun yang datang menggunakan sepeda, berbincang dalam logat jawa berat yang tak bisa kumengerti.


Aku memiliki dua rute untuk mencapai tempat ini.

Rute pertama melewati warung, sekolah, dan apartemen kecil. Highlight dari rute ini adalah lahan di sebelah apartemen yang ditanami pohon jati. Pertama kali aku ke sana adalah saat musim kemarau, di mana lantai tanahnya tertutup dengan daun coklat berguguran dan semua pohon terlihat telanjang. Musim hujan seperti ini memperkenalkanku dengan tampilan baru sang hutan. Lebat, sejuk, dan hijau persis seperti di koleksi krayonku.

Gerbang hutannya dikerumuni pohon bambu di kanan dan rumah ayam di kiri. Ayamnya selalu berlari bebas mengikuti para pengunjung sambil maju-mundur penuh rasa ingin tahu seperti seorang bocah pecicilan. Kadang sang pemilik ayam datang bersama kedua anjingnya. Ia akan selalu bertanya, “Takut anjing tidak, dek?”

Rute kedua lebih melelahkan, karena perlu melewati bukit tinggi. Namun, bukit tinggi inilah sang karakter utama rute kedua. Di puncak bukit terdapat pemandangan rumah bertumpuk-tumpuk makin kecil, di temani dengan sepasang gunung terlihat jelas pada pagi hari.

Rute ini melewati rumah-rumah favoritku. Mataku seperti diberikan hidangan lengkap mulai dari hidangan pembuka sampai pencuci mulut dan cemilan. Sepertinya area itu adalah area elit, jadi rumah-rumah di sana rata-rata memiliki tinggi 3 lantai lengkap dengan balkon dan garasi raksasa. Yang paling menonjol adalah sepasang rumah berwarna pink dan biru pastel bersebelahan. Desain mereka sama persis seakan ada cermin di tengah. Setiap jendela di rumah 4 tingkat tersebut memiliki dan frame kotak aksen putih. Sepasang rumah ini persis seperti rumah boneka.

Aku tentu tidak akan lupa mencertikan rumah-rumah tua di sana, yang terlihat sudah lama sekali ditinggalkan. Lengkap dengan lumut hijau, tanaman merambat dan tumbuh berlebihan. Juga dekorasi bangunan yang mulai rusak dan besi kerangka berkarat. Mungkin catnya sudah terkupas semuanya, tapi semua dinding rumah-rumah tua ini hanya terlihat pola melingkar abu-abu semen. Aku paling senang membayangkan seperti apa ia dulunya dan skenario-skenario ajaib yang mungkin terjadi.

Share this post