Bakpao… ?

Aku mengucek mata. Suara hujan masih terdengar di luar. “Jam berapa ini?”

Pandanganku tertuju pada jam dinding. Tepat jam 12 malam. Aku sudah tertidur sejak tadi, tapi sesuatu membangunkanku.

Wangi khas bakpao ayam yang baru matang menggelitik penciuman, membuatku terjaga di tengah malam. Namun aku ragu untuk beranjak dari tempat tidur. Rasanya mustahil ada orang yang memasak bakpao tengah malam begini. Apalagi sekarang cuaca dingin karena hujan belum berhenti menyapa bumi. Namun rasa lapar mulai mengalahkan rasa kantuk di mata. Tak urung kucoba turun perlahan dari tempat tidur….

Terdengar ada suara seperti orang masak di dapur. Siapa yang akan memasak malam-malam gini? Ibu tidak suka bangun malam-malam, dan Ayah–no offense–tidak bisa masak.

Menyelusuri tangga, aku turun dari lantai 2 rumah dan langsung menginitip ke dapur.

“Lho? Pak Budi?” Tanyaku heran.

Pak Budi, adalah teman baik Ayahku ketika SD yang kebetulan sedang berkunjung ke pedesaan. Tipikalnya seorang teman, Ayah menawarkan Pak Budi untuk menginap di rumah kami sementara.

“Eh, dek Mila!” Seru Pak Budi. Looking more scandalized than surprised. “Maaf ya dek. Saya suka laper malem-malem, jadi saya lagi bikin Bakpao.”

Bakpao? Pilihan yang aneh untuk dimasak tengah malam. Dan… Untuk seseorang yang baru pertama kali ke rumah ini, memasak di dapur orang di tengah malam memang sopan? I mean, we did say to “Make yourself at home”.

“Oh iya pak, nggak apa kok.” Aku tersenyum ramah, tidak ingin tampak seperti pemilik rumah yang jahat.

“Saya membangunkanmu ya, dek? Duduk-duduk! Bakpaonya udah jadi nih! Yuk makan bareng..” Pak Budi menyodorkan piring dengan sebuah bakpao daging kepada sisi mejaku.

“Te-Terimakasih pak..” Gumamku, kurang tahu harus bereaksi seperti apa. Wait, so who’s the host of this house again? Lagi, tidak ingin tampak sombong, aku mengunyah masakannya Pak Budi selagi ia sibuk menyeloteh fokus ke kukusan. Rasa bakpaonya… Tidak buruk.. Tapi aneh. Sangat aneh. Apakah ini kurang masak? Menggunakan sejenis bumbu baru? Atau sebuah bagian daging yang belum pernah kucoba sebelumnya?

“Pak Budi, ini daging apa ya?” Kutanya, menghentikan ramblenya mengenai cerita masa kecil ia dengan Ayah.

A pause.

“Saya hanya menggunakan daging yang ada di kulkas dek. Kurang tahu itu apa. Hehehehe,” tawa Pak Budi. Tetapi tawanya membuatku kurang nyaman.

“Pak, ternyata Mila nggak laper. Mila balik ke kamar duluan ya…” Ujarku. Pikiranku saat itu hanya ingin kembali memeluk gulingku dan menutupi tubuh dengan selimut favoritku.

“Oh! Tentu dek.. Have a nice rest~” Sahut Pak Budi dengan senyuman yang tak bisa dibaca.

***

“Kita bukannya kehabisan daging?” Gumamku sambil naik tangga kearah lantai 2. Aku dapat ingat dengan jelas Ibu mengeluh siang tadi karena lupa beli daging di pasar dan berencana untuk beli daging pagi ini.

Di lorong lantai 2, aku melewati kamar orangtuaku. Tetapi mengapa pintunya sedikit terbuka? Aku hendak mengintip kedalam dan menutup pintunya tetapi yang kulihat tidak main seramnya. Kedua orangtuaku terlihat dibunuh secara mengenaskan. Darah mendekorasi seprei dan karpet kamarnya. Anehnya beberapa bagian tubuh mereka hilang seperti diambil.

Secara insting, aku berteriak dengan amat kencang.

“Dek Mila! Dek Mila kenapa?” Tanya Pak Budi yang bergegas naik ke lantai 2 karena teriakanku.

“Ibu! Ayah! Apa yang terjadi???” Raungku kepada Pak Budi.

“Shh.. Tidak apa.. Ayo istirahat saja.” Tutur Pak Budi. Waaay to calm for a situation like this. Sahabatnya (dan istri sang sahabat) baru saja dibunuh! Dengan cara yang amat kejam pula.

“Tidak mau! Aku harus panggil seseorang.” Tangisku, mencoba untuk berdiri.

“TIDAK! JANGAN!” Bentak Pak Budi, “KAU TAK BOLEH KEMANA-MANA! TAK ADA YANG BOLEH TAHU!” Ia menghela nafas, “Ini rahasia antara kamu dan aku saja, ya?”

Aku memandangnya dengan tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin aku bisa melakukan itu! Dengan cepat aku kabur keluar dari rumah. Tidak peduli masih pake piyama. Tidak peduli untuk pakai sendal. Bahkan tidak peduli dengan hujan yang ada. Tujuanku hanya Pos Satpam terdekat.

“HEY! MAU KEMANA KAU!” Teriak Pak Budi dengan amat sangat kencang. I’m surprised none of my neighbors haven’t woken up.

Terlalu fokus kepada melarikan diri, aku tidak terlalu memerhatikan jalan dan..

BRUK!

Lutut dan sikutku tergores pada bebatuan keras. Curse you slippery rock! Aku berusaha berdiri, tetapi pandanganku disapa oleh muka Pak Budi.

Raut mukanya sangat masam. Aku tidak lihat apa yang dipegangnya, tapi sepertinya sangat mengkilat dan tajam. Dia mendorongku sehingga aku berbaring di aspal keras. 

“Dek Mila… Waktunya istirahat..”

Aku memandang ke langit hitam pekat yang sedang hujan itu. What did I do to deserve this?

Share this post